“Apakah yang harus kita punyai agar kita
bebas dari ketakutan?”
Pertanyaan
di lembar pembukaan novel “Jalan Tak Ada Ujung” ini pada dasarnya adalah tema
utama yang diangkat penulis. Dia menuntun kepada pembaca menemukan jawaban
subjektif atas pertanyaan Jules Romains tersebut. Mochtar Lubis memberikan
gambaran untuk melawan ketakutan melalui cerita yang ditulisnya.
Ketakutan
selalu membayang-bayangi setiap orang. Dalam novel ini, Guru Isa selaku tokoh
utama memiliki banyak ketakutan. Takut akan bahaya yang mengancam
keselamatannya, takut dicap mata-mata musuh, takut pernikahannya cerai, takut
pada kekerasan dan pembunuhan, serta takut akan siksaan.
Latar
peristiwa yang terjalin adalah pasca kemerdekaan, yakni tahun 1946-1947.
Pernyataan Indonesia telah merdeka bukanlah akhir dari penjajahan. Setelah
Jepang mengaku kalah perang dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya,
Indonesia masih dibayang-bayangi oleh tentara asing. Rakyat bertanya-tanya, “Apakah
Inggris ataukah Belanda yang akan datang menjajah?” Awal cerita bermula dari
Guru Isa yang kedapatan melihat penembakan di gang Jaksa. Dia mulai ketakutan
jika yang tertembak adalah dirinya. Pemikiran-pemikiran tersebut selalu mampir
di benaknya.
Guru
Isa memiliki kenalan seorang teman yang bernama Hazil. Dia adalah pemusik
sekaligus pejuang kemerdekaan. Guru Isa dan Hazil menyelundupkan mesiu dengan
truk milik Tuan Hamidy. Lolos, tidak ketahuan oleh tentara. Hazil yang sering berkunjung ke rumah Guru
Isa memiliki rasa kepada Fatimah, istri Guru Isa.
Guru
Isa adalah seorang yang impoten. Salim kecil yang berada di tengah-tengah
mereka, bukanlah anak kandung. Salim adalah anak pungut. Itu adalah puncak
kemarahan Fatimah karena tak mampu memuaskan jasmaninya. Karena keimpotensian
Guru Isa jugalah Fatimah mulai menyukai Hazil.
Fatimah
adalah perempuan normal. Dalam ketiadaan cinta bersama Guru Isa, maka tumbuhlah
cinta yang baru untuk lelaki yang bernama Hazil. Awalnya pikiran-pikiran
tersebut dia coba enyahkan. Fatimah memandang dirinya sendiri sebagai perempuan
yang baik, berpendidikan, terhormat, dan berpikiran sehat. Namun karena nafsu
yang membuncah, perbuatan serong pun tak dapat dihindarkan.
Guru
Isa yang menemukan jejak perselingkuhan mereka, tak kuasa untuk bertanya
langsung. Dia malah ketakutan jika perselingkuhan mereka benar terjadi, Guru
Isa takut akan ditinggalkan istrinya, juga takut hubungan persahabatan dengan
Hazil usai. Sampai pada akhir cerita pun, Guru Isa menyimpan rapat-rapat
pertanyaan tersebut kepada dua belah pihak.
Dalam
sebuah perjalanan Guru Isa dengan Hazil, mereka berkenalan dengan Rakhmat,
Ontong, Kiran, dan Iman. Ontong adalah orang yang paling sadis. Hanya karena
orang keturunan Tiong Hoa mengenakan anduk yang ada bendera merah putih biru,
disangka sebagai mata-mata. “Ontong ini benar algojo. Kita semua tidak ada yang
berani potong. Dia yang potong.” Guru Isa tambah ngeri ketakutan untuk
melanjutkan perjuangan. Tetapi dia tak bisa mundur lagi. Sebab jika begitu, dia
akan dicap sebagai pengkhianat. Guru Isa menjadi serba salah.
Puncak
perlawanan Guru Isa adalah dengan mengebom Bioskop Rex Guru Tempat tersebut
diperkirakan banyak serdadu-serdadu Belanda. Guru Isa ingin menolak karena
takut, tetepi dia tak bisa mengatakannya. Sebab jika dianggap sebagai
pengkhianat, maka nyawanya pasti akan melayang.
Guru Isa memantau penyerangan. Sementara Hazil dan
Rakhmat melancarkan serangan dengan melemparkan geranat tangan ke tengah-tengah
keramaian bioskop, saat serdadu-serdadu Belanda keluar berjubel dari pintu
bioskop. Setelah suara ledakan, Guru Isa tidak tahu harus berbuat apa. Dia
ketakutan. Tak mau lagi melakukan serangan seperti ini. Guru Isa berlari
sendirian, merasa bersalah. Dia menjauhi Bioskop Rex. Sampai akhirnya bertemu
dengan Hazil dan Rakhmat. Mereka saling menyetujui untuk berjalan
sendiri-sendiri.
Guru
Isa pulang ke rumahnya sehabis pengeboman. Di sana ia melihat Salim kecil, anak
angkatnya. Salim yang awalnya pura-pura tidur, menangis tanpa ada alasan yang
Guru Isa ketahui. Kemudian dia menceritakan sumber ketakutannya, sampai-sampai
dia harus menangis pada malam hari.
“Salim
takut tidur sendiri dalam gelap.”
Guru
Isa tersentak. Dia diingatkan oleh Salim kecil. Bahwasanya semua orang memiliki
ketakutannya masing-masing. Guru Isa baru tahu kalau Salim takut pada hal itu.
Sebab bertahun-tahun Salim tidur sendiri dengan lampu yang dimatikan. Guru Isa
berpikir dalam-dalam. Tentang bagaimana caranya menerima dan hidup dengan
ketakutannya. Mencontoh pada Salim kecil.
Seminggu
setelah pengeboman berlalu, Guru Isa tak pernah lagi bertemu dengan Hazil maupun
Rakhmat. Rasa khawatirnya bertambah setelah membaca koran yang isinya
menyatakan bahwa salah seorang pelaku pengeboman Biosko Rex berhasil ditangkap.
Keesokan
paginya Guru Isa didatangi polisi bersenjata di rumahnya. Dia dibawa ke kantor
polisi. Guru Isa didakwa ikut mengebom bioskop atas pengakuan Hazil yang lebih
dulu ditangkap.
Guru
Isa tidak mampu berbicara mengatakan ia atau tidak dia telah mengebom bioskop.
Guru Isa takut disiksa jika tidak mengaku. Pun takut untuk mengaku, karena itu
tandanya dia telah berkhianat. Pada kondisi itulah Guru Isa selalu disiksa.
Sampai-sampai tak mampu berkata apa-apa.
Hazil
yang awalnya berani menghadapi segala resiko perjuangan, akhirnya luluh oleh
rasa takut sendiri. Penyiksaan dan penganiayaan yang diterimanya setiap hari,
membuat Hazil ciut dan kikuk. Berbeda dengan Guru Isa, menghadapi ketakutannya.
Siksaan-siksaan menyakitkan yang dia terima ternyata tidak lebih menakutkan
dari yang dia kira sebelumnya. Ketakutan terbesar hanya ada dalam batok kepala.
Genre novel : Cerita ini termasuk ke dalam
kategori Historial Fiksi. Sebuah
cerita fiksi yang diangkat berdasarkan sejarah. Pencerminan sosial budaya yang disajikan berkaitan erat dengan yang
sebenarnya terjadi. Salah satu fungsi karya sastra adalah menunjukkan suatu situasi
sosial dan sejarah suatu wilayah dimana karya sastra itu lahir.
Kelebihan : Cerita
yang disajikan realis. Ada kemungkinan hal ini terjadi di suatu masa. Setting
dan penokohan digambarkan secara kuat. Gaya bahasa yang sederhana membuat
pembaca lebih mudah mengikat makna. Ending yang tak bisa ditebak.
Kekurangan : Cerita
yang runut dengan sedikit kejutan dan kental dengan amanat yang ingin
disampaikan. Terlepas dari dua hal tersebut, novel ini layak untuk dibaca oleh
semua kalangan. Sebab nilai kekurangannya tak mengurangi kualitas menariknya
buku ini.
Ditulis oleh : Mukodas Sinatrya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar