Rabu, 03 Juni 2015

Review Film “Orphan”

Genre : Horor

Durasi : 123 menit

Rilis : 2009

Sutradara : Jaume Collet-Serra

Pemain : Vera Farmiga (Kate), Peter Sarsgaard (John), Isabelle Fuhrman (Esther), Jimmy Bennet (Daniel), Aryana Engineer (Max).






Yang suka film Horor thriller, pasti tak akan menyesal menonton “film Orphan”. Secara etimologi, Orphan berasal dari bahasa Yunani yang berarti anak yatim (yatim piatu). Dalam film ini, Esther yang menjadi tokoh utama. Dia adalah seorang anak yang tinggal di panti asuhan. Keluarga terakhir yang mengadopsinya meninggal karena kebakaran, dan Esther adalah satu-satunya orang yang selamat.

Film ini dibuka dengan adegan dalam mimpi Kate. Mimpi-mimpi ini selalu datang. Mimpi merupakan representasi kenyataan dalam bentuk yang abstrak. Kate mengalami keguguran pada kelahiran ketiga, kenyataan inilah membuatnya merasa bersalah. Kate selalu merasa tertekan. Dia depresi dan mulai akrab dengan minuman beralkohol. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan Kate selalu dikunjungi mimpi buruk.

Untuk mengurangi rasa bersalahnya, Kate dan John akan mengadopsi seorang anak panti setelah berkonsultasi dengan psikiater (dr. Bowning). Dari panti itulah John dan Kate bertemu Esther. Esther tengah melukis sendirian di kamarnya. Dia tak punya teman. Kate dan John yang merasa kasihan karena peristiwa yang pernah menimpanya, kemudian mengangkat Esther menjadi anak.

Max yang tuna wicara dan sedikit tuna rungu sangat bergembira. Dia memiliki saudara perempuan. Sayangnya, kepolosan Max dipermainkan oleh Esther. Hanya Daniel yang tidak menyukai Esther yang aneh. Penampilan, gaya bahasa, cara makan, cara bergaul yang tidak biasa, membuat Daniel tak mau mengakuinya sebagai saudara.

Plot selanjutnya berjalan mulus. Cara pengguanaan alur maju dari peristiwa ke peristiwa membuatnya mudah ditebak. Kesadisan Esther dimulai dengan mendorong teman sekelasnya yang melakukan bullying. Lantas pembunuhan yang dilakukan Esther kepada Suster Abigail dengan martil dilakukan di hadapan Max. Kemudian barang buktinya di simpan di tersembunyi di rumah pohon Daniel.

Pada saat mengantarkan Esther dan daniel ke sekolah, Esther dengan sengaja melepaskan rem tangan mobil. Mobil berjalan mundur karena jalannya yang landai. Sedangkan Max yang masih berada di dalamnya menangis ketakutan. Untung saja, tidak terjadi tabrakan yang mengenaskan. Mobil berhenti karena tumpukan salju di tikungan.

Adegan yang paling menyebalkan dari Esther adalah saat ia memberikan seikat mawar putih kepada Kate. Padahal dari awal pertemuan, mawar putih yang tumbuh di rumahnya adalah simbol Jessica, anak ketiganya yang gugur. Kate menjelaskan bahwa di dalam mawar putih tersebut tersimpan jiwa Jessica. Abu kematian jessica di tanam di dalamnya. Jessica akan hidup selama mawar putih tersebut hidup. Dan yang dilakukan Esther adalah memangkas mawar putih tersebut dan memberikannya kepada Kate sebagai hadiah. Tentu saja Kate marah, berbanding terbalik dengan John yang selalu membela Esther.

Manipulasi-manipulasi dilakukan oleh Esther dengan lihai. Bahkan seorang psikiater pun terkecoh olehnya. Hal ini menjadi janggal, seorang psikiater mampu men-judge seseorang dalam satu kali pertemuan. Setelah berkonsultasi dengan dr. Bowning, dapat disimpulkan hal ini karena kesalahan Kate. Kate telah ceroboh tidak mengunci mobil dengan rem tangan, sehingga Max berada dalam bahaya.

Kate berusaha mati-matian meyakinkan suami dan dr Bowning, tapi sekuat itu pula mereka membantah argumentasi kate. Kate jengkel, dan mencengkeram kuat tangan Esther. Esther lantas menangis, menunjukkan ketakberdayaannya di hadapan John.

Manipulasi yang paling hebat ditampilkan di sini. Esther pergi ke sebuah ruangan gelap. Dia mematahkan tangannya sendiri dengan sebuah alat. Pada saat menjelang tidur, Esther menangis kesakitan. Dia menunjukkan tangannya yang patah kepada John, akibat ulah Kate.

Kate merasa ada keganjilan dalam diri Esther. Untuk memastikannya, dia mencari informasi tentang seseorang yang membunuh. Salah satu ciri dari mereka adalah manipulator yang sangat hebat. Ketika sedang asyik mencari informasi, di luar rumah Esther tengah membakar rumah pohon yang di dalamnya berisi barang bukti dan juga Daniel.

Ending cerita ini seperti yang dipaksakan. Pada saat Daniel berada di rumah sakit, Esther, John beserta Max berada di rumah. John depresi atas kejadian yang menimpa keluarganya. Dia pun minum minuman beralkohol. Esther menggoda John. Namun John tetap setia pada Kate.

Di lain pihak, Kate mendapat telpon dari Saarne Institut. Rumah sakit jiwa yang berada di Estonia, yang sebelumnya pernah dihubungi Kate. Si pengelola menceritakan bahwa Esther sebenarnya memiliki kelainan hormon yang menyebabkan kekerdilan fisik. Esther sebenarnya telah berusia 33 tahun. Dia mengalami hypopituitarism. Yang janggal adalah jika kita telusuri kelainan ini, hypopituitarism berkaitan erat dengan kerusakan otak dan tumor. Ganjil sekali, karena Esther dari awal sampai akhir, tidak menampilkan kesakitan atas kerusakan otak atau tumor yang dideritanya. Hypopituitarism ini menjadi tempelan yang tidak perlu dan sangat dipaksakan agar penonton mengakui adanya keganjilan ini.

Esther membunuh John dengan beberapa kali tusukan telak di tubuhnya. Kini Esther memburu Max. Untunglah, Kate datang terlebih dahulu untuk menyelamatkan anaknya. Kate berusaha menyelamatkan Max. Begitupun Max, dengan ketakutannya dia melawan Esther, membantu ibunya. Kate menjadi super mom yang tangguh. Seseorang yang tengah depresi beralih menjadi wanita hebat. 

Senin, 01 Juni 2015

Review Novel “Jalan Tak Ada Ujung”

Jalan Tak Ada Ujung
Penulis : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Ketebalan buku : vi + 167 hlm. ; 11 x 17 cm
Cetakan ke 7 tahun 2010, cetakan pertama 1952



Sinopsis

Apakah yang harus kita punyai agar kita bebas dari ketakutan?
Pertanyaan di lembar pembukaan novel “Jalan Tak Ada Ujung” ini pada dasarnya adalah tema utama yang diangkat penulis. Dia menuntun kepada pembaca menemukan jawaban subjektif atas pertanyaan Jules Romains tersebut. Mochtar Lubis memberikan gambaran untuk melawan ketakutan melalui cerita yang ditulisnya.
Ketakutan selalu membayang-bayangi setiap orang. Dalam novel ini, Guru Isa selaku tokoh utama memiliki banyak ketakutan. Takut akan bahaya yang mengancam keselamatannya, takut dicap mata-mata musuh, takut pernikahannya cerai, takut pada kekerasan dan pembunuhan, serta takut akan siksaan.
Latar peristiwa yang terjalin adalah pasca kemerdekaan, yakni tahun 1946-1947. Pernyataan Indonesia telah merdeka bukanlah akhir dari penjajahan. Setelah Jepang mengaku kalah perang dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Indonesia masih dibayang-bayangi oleh tentara asing. Rakyat bertanya-tanya, “Apakah Inggris ataukah Belanda yang akan datang menjajah?” Awal cerita bermula dari Guru Isa yang kedapatan melihat penembakan di gang Jaksa. Dia mulai ketakutan jika yang tertembak adalah dirinya. Pemikiran-pemikiran tersebut selalu mampir di benaknya.
Guru Isa memiliki kenalan seorang teman yang bernama Hazil. Dia adalah pemusik sekaligus pejuang kemerdekaan. Guru Isa dan Hazil menyelundupkan mesiu dengan truk milik Tuan Hamidy. Lolos, tidak ketahuan oleh tentara.  Hazil yang sering berkunjung ke rumah Guru Isa memiliki rasa kepada Fatimah, istri Guru Isa.
Guru Isa adalah seorang yang impoten. Salim kecil yang berada di tengah-tengah mereka, bukanlah anak kandung. Salim adalah anak pungut. Itu adalah puncak kemarahan Fatimah karena tak mampu memuaskan jasmaninya. Karena keimpotensian Guru Isa jugalah Fatimah mulai menyukai Hazil.
Fatimah adalah perempuan normal. Dalam ketiadaan cinta bersama Guru Isa, maka tumbuhlah cinta yang baru untuk lelaki yang bernama Hazil. Awalnya pikiran-pikiran tersebut dia coba enyahkan. Fatimah memandang dirinya sendiri sebagai perempuan yang baik, berpendidikan, terhormat, dan berpikiran sehat. Namun karena nafsu yang membuncah, perbuatan serong pun tak dapat dihindarkan.
Guru Isa yang menemukan jejak perselingkuhan mereka, tak kuasa untuk bertanya langsung. Dia malah ketakutan jika perselingkuhan mereka benar terjadi, Guru Isa takut akan ditinggalkan istrinya, juga takut hubungan persahabatan dengan Hazil usai. Sampai pada akhir cerita pun, Guru Isa menyimpan rapat-rapat pertanyaan tersebut kepada dua belah pihak.
Dalam sebuah perjalanan Guru Isa dengan Hazil, mereka berkenalan dengan Rakhmat, Ontong, Kiran, dan Iman. Ontong adalah orang yang paling sadis. Hanya karena orang keturunan Tiong Hoa mengenakan anduk yang ada bendera merah putih biru, disangka sebagai mata-mata. “Ontong ini benar algojo. Kita semua tidak ada yang berani potong. Dia yang potong.” Guru Isa tambah ngeri ketakutan untuk melanjutkan perjuangan. Tetapi dia tak bisa mundur lagi. Sebab jika begitu, dia akan dicap sebagai pengkhianat. Guru Isa menjadi serba salah.
Puncak perlawanan Guru Isa adalah dengan mengebom Bioskop Rex Guru Tempat tersebut diperkirakan banyak serdadu-serdadu Belanda. Guru Isa ingin menolak karena takut, tetepi dia tak bisa mengatakannya. Sebab jika dianggap sebagai pengkhianat, maka nyawanya pasti akan melayang.
Guru Isa memantau penyerangan. Sementara Hazil dan Rakhmat melancarkan serangan dengan melemparkan geranat tangan ke tengah-tengah keramaian bioskop, saat serdadu-serdadu Belanda keluar berjubel dari pintu bioskop. Setelah suara ledakan, Guru Isa tidak tahu harus berbuat apa. Dia ketakutan. Tak mau lagi melakukan serangan seperti ini. Guru Isa berlari sendirian, merasa bersalah. Dia menjauhi Bioskop Rex. Sampai akhirnya bertemu dengan Hazil dan Rakhmat. Mereka saling menyetujui untuk berjalan sendiri-sendiri.
Guru Isa pulang ke rumahnya sehabis pengeboman. Di sana ia melihat Salim kecil, anak angkatnya. Salim yang awalnya pura-pura tidur, menangis tanpa ada alasan yang Guru Isa ketahui. Kemudian dia menceritakan sumber ketakutannya, sampai-sampai dia harus menangis pada malam hari.
“Salim takut tidur sendiri dalam gelap.”
Guru Isa tersentak. Dia diingatkan oleh Salim kecil. Bahwasanya semua orang memiliki ketakutannya masing-masing. Guru Isa baru tahu kalau Salim takut pada hal itu. Sebab bertahun-tahun Salim tidur sendiri dengan lampu yang dimatikan. Guru Isa berpikir dalam-dalam. Tentang bagaimana caranya menerima dan hidup dengan ketakutannya. Mencontoh pada Salim kecil.
Seminggu setelah pengeboman berlalu, Guru Isa tak pernah lagi bertemu dengan Hazil maupun Rakhmat. Rasa khawatirnya bertambah setelah membaca koran yang isinya menyatakan bahwa salah seorang pelaku pengeboman Biosko Rex berhasil ditangkap.
Keesokan paginya Guru Isa didatangi polisi bersenjata di rumahnya. Dia dibawa ke kantor polisi. Guru Isa didakwa ikut mengebom bioskop atas pengakuan Hazil yang lebih dulu ditangkap.
Guru Isa tidak mampu berbicara mengatakan ia atau tidak dia telah mengebom bioskop. Guru Isa takut disiksa jika tidak mengaku. Pun takut untuk mengaku, karena itu tandanya dia telah berkhianat. Pada kondisi itulah Guru Isa selalu disiksa. Sampai-sampai tak mampu berkata apa-apa.
Hazil yang awalnya berani menghadapi segala resiko perjuangan, akhirnya luluh oleh rasa takut sendiri. Penyiksaan dan penganiayaan yang diterimanya setiap hari, membuat Hazil ciut dan kikuk. Berbeda dengan Guru Isa, menghadapi ketakutannya. Siksaan-siksaan menyakitkan yang dia terima ternyata tidak lebih menakutkan dari yang dia kira sebelumnya. Ketakutan terbesar hanya ada dalam batok kepala.

Genre novel : Cerita ini termasuk ke dalam kategori Historial Fiksi. Sebuah cerita fiksi yang diangkat berdasarkan sejarah. Pencerminan sosial budaya yang disajikan berkaitan erat dengan yang sebenarnya terjadi. Salah satu fungsi karya sastra adalah menunjukkan suatu situasi sosial dan sejarah suatu wilayah dimana karya sastra itu lahir.

Kelebihan : Cerita yang disajikan realis. Ada kemungkinan hal ini terjadi di suatu masa. Setting dan penokohan digambarkan secara kuat. Gaya bahasa yang sederhana membuat pembaca lebih mudah mengikat makna. Ending yang tak bisa ditebak.

Kekurangan : Cerita yang runut dengan sedikit kejutan dan kental dengan amanat yang ingin disampaikan. Terlepas dari dua hal tersebut, novel ini layak untuk dibaca oleh semua kalangan. Sebab nilai kekurangannya tak mengurangi kualitas menariknya buku ini.

Ditulis oleh : Mukodas Sinatrya